Masa Kecil
Sulthan Muhammad II lahir pada 833 H
(1429 M), ia merupakan Sulthan Utsmani ketujuh dalam silsilah keluarga Utsman
dan memiliki gelar Al-Fatih yang berarti Muhammad sang penakluk. Gelar ini ia
raih karena keberhasilannya menaklukan kota Konstatinopel. Sulthan Muhammad Al-Fatih diangkat menjadi
penguasa daulah Utsmaniyah setelah kematian ayahnya pada 16 Muharram 855 H (18
Februari 1451 M), ketika itu umurnya baru 22 tahun. Sulthan Muhammad Al-Fatih mempunyai
kepribadian yang unik dan menawan, ia mampu menggabungkan antara kekuatan dan
keadilan. Semenjak muda, ia mampu mengungguli teman-temannya dalam banyak ilmu
yang dipelajari di sekolah istana. Ia menguasai banyak bahasa, yakni
diantaranya bahasa Arab, Latin, Yunani, Serbia, Turki, Persia, dan Israel.
Semenjak masa kanak-kanak, Sulthan Muhammad Al-Fatih telah terpengaruh oleh
para ulama Rabbani, khususnya seorang alim rabbani yang bernama Ahmad bin
Ismail Al-Kurani. Selain itu, ada ulama lain yang cukup berperan dalam
membentuk kepribadian Sulthan Muhammad Al-Fatih yaitu Syaikh Aaq Syamsuddin.
Sejak kecil, Syaikh Aaq Syamsuddin selalu menanamkan dua perkara pada diri
Sulthan Muhammad Al-Fatih, yakni meningkatkan gerakan jihad Utsmani dan selalu
memberikan sugesti kepadanya bahwa dialah pemimpin yang dimaksud dalam hadist
nabi:
“Sungguh,
Konstantinopel akan ditaklukan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin (yang
menaklukan) nya dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya.” {HR.Ahmad}
Oleh karena
itu, Sulthan Muhammad Al-Fatih sangat ingin merealisasikan hadits Rasulullah
tersebut.
Masa Awal Kepemimpinan
Ketika masa awal kepemimpinannya
dalam Daulah Utsmaniyah, Sulthan Muhammad Al-Fatih melakukan perbaikan internal
dalam Daulah Utsmaniyah. Hal tersebut dapat direalisasikannya dengan pesat.
Baru setelah itu ia mulai memalingkan perhatiannya untuk menaklukan
Konstantinopel. Konstantinopel dipandang sebagai salah satu kota paling penting
di dunia, didirikan pada 330 M oleh kaisar Byzantium, Constantine I. Kota ini
menjadi tempat yang unik dan menawan di dunia, sampai-sampai ada yang
mengatakan “Seandainya dunia ini menjadi satu kerajaan, tentulah Konstantinopel
adalah kota yang paling layak sebagai ibu kotanya.” Para khalifah dan pemimpin
Islam pun selalu berusaha menaklukkan Konstantinopel. Usaha pertama dilancarkan
tahun 44 H di zaman Mu''awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ''Anhu. Akan tetapi,
usaha itu gagal. Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayyah. Di
zaman pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui
kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190 H. Setelah
kejatuhan Baghdad tahun 656 H, usaha melawan Kostantinopel diteruskan oleh
kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk.
Pemimpinnya, Alp Arselan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar
Roma, Dimonos (Romanus IV/Armanus), tahun 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian
besar wilayah Kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk.
Penaklukan Konstatinopel
Sulthan Muhammad Al-Fatih
mencurahkan berbagai upaya untuk merencanakan dan mengatur penaklukan
Konstantinopel. Hari Jumat, 6 April 1453 M,
Sulthan Muhammad Al-Fatih bersama gurunya Syeikh Aaq Syamsudin, beserta
tangan kanannya Halil Pasha dan Zaghanos Pasha merencanakan penyerangan ke
Konstantinopel dari berbagai penjuru benteng kota tersebut. Dengan berbekal 250.000
ribu pasukan dan meriam teknologi baru pada saat itu. Para mujahid lantas
diberikan latihan intensif dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah terkait
pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam. Sulthan Muhammad Al-Fatih
mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk islam atau menyerahkan penguasaan
kota secara damai dan membayar upeti atau pilihan terakhir yaitu perang.
Constantine menjawab bahwa dia tetap akan mempertahankan kota dengan dibantu
Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovani Giustiniani dari Genoa. Setelah
proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di
kota Konstantinopel pada hari Jumat 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M.
Di hadapan tentaranya, Sultan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan
tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di
hadapan Allah Swt. Dia juga membacakan ayat-ayat Al-Qur'an mengenainya serta
hadis Nabi Saw tentang pembukaan kota Konstantinopel. Ini semua memberikan
semangat yang tinggi pada bala tentara dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir,
pujian dan doa kepada Allah Swt.
Kota dengan benteng setinggi lebih
dari 10 meter tersebut memang sulit ditembus, selain di sisi luar benteng pun
dilindungi oleh parit 7 meter. Dari sebelah barat pasukan Artileri harus
membobol benteng dua lapis, dari arah selatan Laut Marmara pasukan laut Turki
harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur
armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi
dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.
Berhari-hari hingga berminggu-minggu benteng Byzantium tak bisa jebol, kalaupun
runtuh membuat celah maka pasukan Constantine langsung mempertahankan celah
tersebut dan cepat menutupnya kembali. Usaha lain pun dicoba dengan menggali
terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun juga
gagal. Hingga
akhirnya sebuah ide yang terdengar bodoh dilakukan hanya dalam waktu semalam.
Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui Teluk Golden Horn yang
sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu dengan memindahkan
kapal-kapal melalui darat untuk menghindari rantai penghalang, hanya dalam
semalam sekitar 70 kapal bisa memasuki wilayah Teluk Golden Horn (ini adalah
ide ”tergila” pada masa itu namun taktik ini diakui sebagai antara taktik
peperangan (warfare strategy) yang terbaik di dunia oleh para sejarawan Barat
sendiri). Sulthan
Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Byzantium
di sana. Takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" terus membahana di
angkasa Konstantinopel seakan-akan meruntuhkan langit kota itu. Pada 27 Mei
1453, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan
diri di hadapan Allah Swt. Mereka memperbanyak shalat, doa, dan dzikir. Hingga
tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jumadil Awal 857 H atau bertepatan dengan
tanggal 29 Mei 1453 M, setelah sehari istirahat perang, pasukan Turki Utsmani
dibawah komando Sulthan Muhammad II kembali menyerang total, diiringi hujan
dengan tiga lapis pasukan.
Giustiniani sudah menyarankan
Constantine untuk mundur atau menyerah tapi Constantine tetap konsisten hingga
gugur di peperangan. Kabarnya Constantine melepas baju perang kerajaannya dan
bertempur bersama pasukan biasa hingga tak pernah ditemukan jasadnya. Giustiniani
sendiri meninggalkan kota dengan pasukan Genoa-nya. Kardinal Isidor sendiri
lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur
di peperangan. Para
mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang
kota. Tentara Utsmaniyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui
Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyyah di puncak kota.
Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih,
akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka.
Konstantinopel telah jatuh, penduduk
kota berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia, dan Sultan Muhammad Al-Fatih
memberi perlindungan kepada semua penduduk, siapapun, baik Yahudi maupun
Kristen, termasuk non muslim dzimmy (kafir yang harus dilindungi karena
membayar jizyah/pajak), muahad (yang terikat perjanjian), dan musta’man (yang
dilindungi seperti pedagang antar negara) bukan non muslim harbi (kafir yang
harus diperangi). Konstantinopel diubah namanya menjadi Islambul (Islam
Keseluruhannya). Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja
lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya. Toleransi
tetap ditegakkan, siapa pun boleh tinggal dan mencari nafkah di kota tersebut.
Sulthan kemudian membangun kembali kota, membangun sekolah gratis, siapapun
boleh belajar, tak ada perbedaan terhadap agama, membangun pasar, membangun
perumahan, membangun rumah sakit, bahkan rumah diberikan gratis bagi pendatang
di kota itu dan mencari nafkah di sana. Hingga akhirnya kota tersebut diubah
menjadi Istanbul.
Beberapa
Karya Peradaban Muhammad Al Fatih
1.
Perhatiannya
terhadap sekolah dan akademi
Sulthan Muhammad Al Fatih adalah seorang yang sangat mencintai
ilmu dan para ulama. Oleh karena itu dia menaruh perhatian pada pembangunan
sekolah dan akademi di berbagai penjuru negaranya. Terkadang Sulthan Muhammad
Al Fatih menghadiri ujian para siswa, sering mengunjungi sekolah-sekolah, tidak
merasa gengsi dan keberatan untuk mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh
guru. Dia selalu menasihati murid-murid agar rajin belajar, tidak pelit untuk
memberikan hadiah kepada guru dan murid yang berprestasi dan menyelenggarakan
pendidikan di semua sekolah secara gratis. Sulthan Muhammad Al Fatih juga
membangun asrama serta memberikan beasiswa setiap bulannya kepada para
muridnya. Selain itu, Sulthan Muhammad Al Fatih membangun perpustakaan khusus.
Orang yang diamanahi untuk mengelola perpustakaan tersebut harus memenuhi
beberapa syarat, diantaranya dia harus orang yang berilmu dan bertakwa serta
mengetahui betul judul-judul buku dan pengarangnya.
2. Perhatiannya
kepada ulama
Para ulama dan sastrawan mempunyai kedudukan khusus di hadapan
Sulthan Muhammad Al Fatih. Sulthan menjadikan para ulama dekat dengannya,
mengangkat posisi mereka, dan mendorong mereka untuk selalu bekerja dan
berkarya. Sulthan Muhammad Al Fatih sering mendermakan harta dan memberikan
hadiah kepada para ulama agar mereka mencurahkan segala tenaga dan pikiran
untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan. Syaikh Al Kurani memanggil Sulthan
dengan nama aslinya dan tidak pernah menundukkan kepala kepadanya. Dia tidak
pernah mencium tangan Sulthan, namun hanya meyalaminya dengan biasa, tidak
pernah datang menemui Sulthan kecuali jika Sulthan mengutus seseorang kepadanya
untuk memintanya datang.
3. Perhatiannya
terhadap penyair dan sastrawan
Seorang sejarawan sastrawan Utsmani menyebutkan bahwa Sulthan
Muhammad Al Fatih sangat peduli terhadap kebangkitan sastra. Dia adalah seorang
penyair yang terkenal, berkuasa selama tiga puluh tahun. Di negeri yang
dipimpin oleh Sulthan Muhammad Al Fatih ini terdapat tiga puluh orang penyair,
masing-masing dari mereka mendapatkan gaji sebesar seribu dirham. Salah satu
syair karya Sulthan Muhammad Al Fatih:
Niatku adalah melaksanakan perintah
Allah, “Berjihadlah kalian fii sabilillah.” (Al Maidah 5:53)
Semangatku adalah mencurahkan segala
upaya untuk mengabdi pada agamaku: agama Allah.
Tekadku adalah mengalahkan semua orang
kafir dengan tentaraku: tentara Allah.
Pikiranku terfokus pada kemenangan berkat
taufik dan perlindungan Allah.
Jihadku adalah dengan jiwa dan harta.
Apa lagi yang harus dilakukan di dunia selain melaksanakan perintah Allah?
Kerinduanku adalah perang dan perang
ratusan ribu kali untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Harapanku adalah pada pertolongan Allah
dan keunggulan Daulah Utsmani atas musuh-musuh Allah.
Sulthan Muhammad Al Fatih
mengingkari para penyair yang tidak punya rasa malu, banyak bercanda, dan
berkata-kata mesum. Dia menghukum penyair yang keluar dari etika dengan
memasukannya ke dalam penjara.
4. Perhatiannya
terhadap penerjemahan
Sulthan Muhammad Al Fatih menguasai bahasa Romawi dengan baik.
Agar muncul kebangkitan pemikiran di kalangan rakyatnya, dia memerintahkan
untuk menerjemahkan banyak khazanah lama yang tertulis dalam bahasa Yunani,
Latin, Arab, dan Persia ke dalam bahasa Turki. Selain itu, Sulthan Muhammad Al
Fatih sangat memperhatikan bahasa Arab. Sebab, bahasa Arab adalah bahasa Al
Qur’an dan juga merupakan bahasa ilmu pengetahuan yang banyak tersebar pada
zaman itu.
5. Perhatiannya
terhadap pendirian bangunan dan rumah sakit
Sulthan Muhammad Al Fatih senang membangun masjid, akademi,
istana, rumah sakit, toko, pemandian, pasar besar, dan taman umum. Dia
mendorong para menteri, pejabat pemerintah, orang-orang kaya, dan orang-orang
terpandang untuk menjadikan kota terlihat indah. Dia menaruh perhatian khusus
pada ibu kota Istanbul dan sangat ingin menjadikannya sebagai ibu kota terindah
di dunia serta pusat ilmu pengetahuan dan seni. Sulthan Muhammad Al Fatih juga
sangat memperhatikan klinik dan rumah sakit. Sulthan mensyaratkan semua orang
yang bekerja di rumah sakit adalah orang yang mempunyai sifat qana’ah,
penyayang, dan berkemanusiaan. Pengobatan di rumah sakit diberikan secara
gratis kepada semua orang tanpa membedakan ras dan agama mereka.
6. Perhatiannya
terhadap perdagangan dan industri
Sulthan Muhammad Al Fatih sangat memperhatikan perdagangan dan
industri. Ketika ditaklukan oleh pasukan Utsmani, banyak kota besar menjadi
sangat maju, padahal ketika masa pemerintahan Byzantium kota-kota itu hanya
dikuasai oleh segelintir orang kaya. Orang-orang Utsmani sangat menguasai
pasar-pasar dunia dari jalur laut maupun darat. Salah satu dampak dari
kebijakan umum pemerintah Utsmani dalam sektor perdagangan dan industri adalah
tersebarnya kemakmuran di seluruh penjuru negeri. Pemerintah Utsmani mempunyai
mata uang emas tersendiri.
7. Perhatiannya
terhadap pengaturan administratif
Sulthan Muhammad Al Fatih berusaha untuk memajukan negerinya.
Oleh karena itu, dia membuat undang-undang agar bisa mengatur urusan
administrasi lokal di dalam negerinya. Undang-undang tersebut diadopsi dari
syariat Islam yang mulia. Sulthan Muhammad Al Fatih juga menaruh perhatian
untuk membuat undang-undang yang mengatur hubungan antara penduduk non muslim
di dalam Daulah Utsmaniyah dengan tetangga mereka yang muslim serta hubungan
mereka dengan negara yang mengatur mereka. Dia menyebarkan keadilan di kalangan
rakyatnya, bersungguh-sungguh dalam memburu pencuri dan perampok. Terhadap
mereka itu Sulthan memberlakukan hukum Islam. Keamanan dan ketenangan pun
menaungi wilayah Daulah Utsmaniyah.
8. Perhatiannya
terhadap pasukan dan angkatan laut
Sulthan Muhammad Al Fatih selalu memprioritaskan perhatian khusus
kepada pasukan. Dalam pandangannya, pasukan merupakan salah satu tiang negara
yang paling penting. Masa pemerintahan Sulthan Muhammad Al Fatih mempunyai
keistimewaan dalam hal kekuatan pasukan dan keunggulan jumlah mereka. Dia
membangun komplek industri militer untuk menyuplai kebutuhan-kebutuhan pasukan.
Dia juga membangun banyak benteng di tempat-tempat yang strategis secara
militer. Disana, dia menyusun pasukan dari berbagai elemennya dengan sangat
teliti dan rapi. Pasukan itu terdiri dari pasukan berkuda (kavaleri), pejalan
kaki (infantri), operator meriam (artelari), dan pasukan pembantu (logistik).
9. Perhatiannya
pada keadilan
Menegakkan keadilan di kalangan manusia merupakan salah satu
kewajiban para Sulthan Utsmani. Sulthan Muhammad Al Fatih berusaha keras untuk
menegakkan keadilan di seluruh wilayah negaranya. Sulthan sering mengutus
beberapa tokoh agama Kristen agar berkeliling ke berbagai penjuru negeri dari
waktu ke waktu. Para utusan itu diberi kebebasan penuh untuk mencatat dan
mengkritik apa yang mereka saksikan, kemudian melaporkannya kepada Sulthan.
Meskipun sibuk melakukan jihad dan berbagai penaklukan, Sulthan Muhammad Al
Fatih selalu mengawasi semua peristiwa yang terjadi di segala penjuru negerinya
dengan penuh perhatian. Pada malam hari, dia sering keluar ke jalan-jalan dan
gang-gang untuk mengetahui langsung keadaan rakyatnya dan mendengarkan langsung
laporan dari mereka. Demikianlah semestinya yang dilakukan oleh penguasa. Dia
harus memperhatikan tiap bagian dari kekuasaannya dan memelihara semua keadaan
rakyatnya, terkhusus orang-orang yang lemah.
Wasiat Sulthan Muhammad Al Fatih Kepada
Putranya
Berikut
ini wasiat Sulthan Muhammad Al Fatih kepada anaknya saat menjelang wafatnya.
Wasiat ini dengan jelas menggambarkan jalan hidup, nilai-nilai, dan
prinsip-prinsip yang dia yakini. Para Sulthan sepeninggalnya juga ingin
menempuh jalan tersebut. Dia berwasiat sebagai berikut.
”Sebentar
lagi aku akan mati. Tetapi, aku tidak menyesal karena telah meninggalkan
pengganti seperti dirimu. Jadilah kamu orang adil, shalih, dan penuh kasih sayang.
Lindungilah rakyatmu tanpa membeda-bedakan, sebarkanlah agama Islam karena ini merupakan
kewajiban para raja di muka bumi. Dahulukan urusan agama di atas urusan apapun.
Jangan bermalas-malasan dalam melaksanakan agama. Jangan mempekerjakan
orang-orang yang tidak mempedulikan urusan agama, tidak menjauhi dosa-dosa
besar, dan malah tenggelam dalam kemaksiatan. Hindarilah semua bid’ah yang
merusak. Jauhilah orang-orang yang mengajakmu kepada bid’ah. Perluaslah wilayah
negeri ini dengan jihad. Jagalah harta Baitul Mal agar tidak
dihambur-hamburkan. Jangan mengambil harta salah seorang pun dari rakyatmu
kecuali menurut aturan Islam. Bantulah orang-orang miskin dan lemah agar mereka
menjadi kuat. Hormatilah orang-orang yang berhak dihormati.
Ketahuilah bahwa para ulama itu
seperti kekuatan yang tersebar di dalam negeri. Oleh karena itu, hormati dan
motivasilah mereka. Jika kamu mendengar ada seorang ulama di negeri lain,
mintalah dia agar datang kepadamu. Hormatilah dia dengan memberikannya harta.
Waspadalah terhadap harta dan
tentara. Jangan sampai kamu tertipu dengan keduanya. Jangan pernah mengusir
ahli syariah dari pintu istanamu. Jangan melakukan perbuatan apapun yang bertentangan dengan hukum Islam. Sesungguhnya
agama adalah tujuan kita dan petunjuk Allah adalah jalan hidup kita. Dengan
itulah kita meraih kemenangan.
Ambillah pelajaran dariku. Aku
datang ke negeri ini bagaikan semut kecil. Allah Ta’ala lalu memberiku nikmat yang
agung ini. Oleh karena itu, tempuhlah jalanku dan ikutilah jejakku. Berjuanglah
untuk menegakkan agama ini dan memuliakan pemeluknya. Jangan kamu gunakan harta
negara untuk bermewah-mewah dan bersenang-senang atau melebihi ukuran yang
sewajarnya. Sebab, hal itu merupakan salah satu penyebab utama kehancuran.”
Wafatnya Sulthan Muhammad Al Fatih
Pada bulan Rabi’ul Awal tahun 886 H
(1481 M), Sulthan Muhammad Al Fatih berangkat dari Konstantinopel ke Asia
Kecil. Di Askadar, pasukan lain dalam jumlah besar telah dipersiapkan. Sebelum keluar
dari Instanbul, sebenarnya Sulthan Muhammad Al Fatih telah merasa tidak enak
badan. Meskipun demikian, dia tidak mempedulikan hal itu karena kecintaannya
yang besar untuk berjihad dan kerinduannya untuk berperang. Dia keluar untuk
memimpin sendiri pasukan Utsmani. Biasanya dia akan sembuh dari penyakitnya
apabila terjun ke medan pertempuran . akan tetapi, kali ini penyakitnya
bertambah parah dan tekanannya bertambah kuat setelah sampai di Askadar. Dia
lalu memanggil para dokter. Ketentuan Allah telah diputuskan sehingga tidak
bermanfaat lagi dokter maupun obat. Sulthan Muhammad Al Fatih akhirnya
meninggal di tengah-tengah pasukan besarnya pada hari Kamis 4 Rabi’ul Awal 886
H (3 Mei 1481 M). Ketika wafat, dia berusia 52 tahun setelah berkuasa selama tiga
puluh tahun lebih.
Semoga
Allah senantiasa menganugerahi rahmat, ampunan, dan ridha-Nya kepada Sulthan
Muhammad Al Fatih. Semoga pula Allah menjadikannya selalu dikenang di kalangan
orang-orang yang memperjuangkan kebaikan.
referensi: buku Sulthan Muhammad Al Fatih karya Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi